Apa yang ada dalam pikiran ayah bunda tentang mengajarkan disiplin pada anak? Dari hasil survey kecil yang penulis lakukan melalui diskusi online dengan 10 orangtua, 7 dari 10 orangtua masih banyak yang memahami bahwa disiplin adalah anak patuh pada orangtua, harus tepat waktu, mentaati aturan dan bila melanggar akan ada hukuman (dibentak, dilabel, dimarahi, dipaksa atau dipukul).
Tentu kita sebagai orangtua harus terus belajar dan membuka wawasan kita tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan anak zaman now.
Anak gen Y dan gen Z sudah tidak mempan dengan hukuman, justru dampaknya akan menimbulkan luka fisik, luka batin, trauma dan bahayanya dapat diturunkan untuk mengasuh generasi berikutnya dengan pola asuh yang sama.
Ada banyak wawasan yang menarik dalam buku Dr. Daniel Siegel yang berjudul “Disiplin Tanpa Drama” dan “The Whole Brain Child“. Disiplin artinya mengajari, bukan menghukum. Bagi anak usia dini, disiplin yang dibentuk adalah membiasakan perilaku yang baik dan benar. Sedangkan untuk anak yang sudah mulai beranjak dewasa, disiplin dikaitkan dengan waktu yang sesuai untuk menjalankan kewajibannya (tepat waktu).
Untuk mengajarkan disiplin pada anak usia dini, disiplin yang dimaksud adalah membimbing, membina berulang-ulang agar anak dapat mengembangkan kemampuannya untuk mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan segala aktifitasnya. Kegiatan mana yang lebih prioritas untuk dilakukan terlebih dahulu dan mana yang bisa dilakukan setelah kegiatan prioritas dilakukan. Dorongan perilaku (motivasi) ini muncul dari internal si anak, bukan dilakukan karena takut dihukum atau karena dipaksa oleh oranglain.
Kadang orangtua lupa atau belum menyadari bahwa anaknya masih kecil, kemampuan otaknya masih belum sempurna dalam mengambil keputusan kegiatan mana yang penting dan mendesak untuk dilakukan terlebih dahulu.
Pak Daniel menjelaskan dalam bukunya dengan ilustrasi yang mudah dipahami, bahwa otak terdiri dari dua lantai: lantai bawah dan lantai atas.
Lantai bawah adalah otak amygdala yang berkembang lebih dulu sejak bayi. Fungsinya adalah sebagai pusat perasaan, reflek (bernafas, berkedip, flight or fight bila menghadapi bahaya) dan fungsi primitif lainnya. Sedangkan lantai atas adalah otak prefrontal yang berkembangnya lebih lama dari otak bawah. Fungsinya untuk berpikir, membuat perencanaan, membuat keputusan, pusat mengendalikan emosi, empati dan moralitas.
Ibarat membangun rumah, lantai satu (amygdala) sudah terbangun lebih dahulu sejak bayi baru membangun lantai atas (prefrontal cortex) diusia berikutnya. Namun sebelum membangun lantai atas, perlu membangun tangga terlebih dahulu agar sampai ke lantai atas. Nah fungsi mengajari kedisiplinan inilah sama dengan membangun tangga agar sampai ke lantai atas dengan selamat. Bila orangtua kurang tepat mengajarkan disiplin, maka tangga ini akan lama terbangunnya, banyak hambatan dan kurang kuat untuk dinaiki sampai ke lantai atas.
Dalam ilmu neurosains, proses pembangunan tangga dan lantai atas dapat terbangun sempurna membutuhkan waktu sekitar 20-30 tahun. Artinya bila kita sebagai orangtua menuntut anak berlebihan untuk dapat mengambil keputusan dengan baik sangatlah aneh orangtua tersebut, apalagi bila sampai menghukum anak (membentak, melabel, memarahi atau memukul). Karena otak atasnya baru terbangun sempurna ketika anak mencapai usia 25 tahun.
Oleh karena itu dalam mengajarkan disiplin kita harus paham kinerja otak, bila diajarinya dengan cara berulang-ulang, menyenangkan dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, maka proses mengajarkan disiplin akan lebih mudah. Apalagi bila dicontohkan dan dibiasakan sejak kecil, otak anak akan memiliki sirkuit berfikir yang baik sehingga diatas usia 7 tahun anak sudah mulai bisa berfikir, memutuskan perilaku yang baik dan baru sempurna di usia 25 tahun.
Tanamkan sejak dini bahwa segala perbuatan tergantung dengan niatnya ( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ). Niatkan karena menjalankan perintah Allah ta’ala. Jelaskan sedikit demi sedikit bahwa perintah Allah pasti bermanfaat untuk manusia. Bila niatnya hanya untuk dilihat oleh orang lain saja, maka tidak akan bernilai pahala dan kenikmatan yang diridhoi-Nya.
Orangtua juga perlu tau bahwa dalam teori psychosocial development Erik Erikson, sejak anak usia 18 bulan, sudah masuk tahapan stage 2 yaitu tahapan otonom VS shame and doubt, anak sudah memiliki pendirian dan keyakinan bahwa dirinya bisa, tidak mau dibantu meskipun padahal fisiknya masih belum kuat untuk melakukan segala sesuatu sendiri. Anak tidak mau disuruh-suruh dan terkesan ia sulit diatur.
Bagaimana cara mengajarkan disiplin pada anak diatas 2 tahun?
Janganlah menyuruh anak atau mengaturnya dengan cara mendikte langsung. Banyak teknik yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk mengajarkan disiplin pada anak agar terkesan tidak menyuruh anak, misalnya dengan Teknik Asking dan Routine Chart.
1. Teknik Asking
Bila anak usia 3 atau 4 tahun enggan mandi, janganlah dipaksa, dihukum atau dijewer. Bangun koneksi atau kedekatan terlebih dahulu dengan anak. Ikutlah bermain atau mengerjakan hal yang sedang asyik ia kerjakan. Setelah terbangun koneksi, buatlah batasan dengan bantuan alarm untuk mengakhiri kegiatan. Lalu gunakan pertanyaan yang memudahkan anak untuk memilihnya: misalnya “Oia ini sudah waktunya membersihkan badanmu agar badanmu bersih dan tidak gatal, kamu mau pakai gayung merah atau biru untuk mandi?” atau coba dengan cara lain: “Kamu mau mencoba mainan ini dimasukkan ke air, apakah akan mengapung atau tenggelam ya?, sekalian kita bersihkan badanmu ya…”; atau bisa juga dengan teknik lain: “Kamu mau jalan pura-pura jadi kangguru atau seperti kuda untuk menuju ke kamar mandi?”, dll.
Contoh kondisi lain saat anak mau bermain bola didalam rumah. Sebenarnya bila ruangan rumah agak luas sih tidak masalah, namun bila di dalam rumah ada barang pecah belah seperti lemari kaca dan hiasan meja, ya… menjadi rawan pecah bila terkena bola. Agar bisa membuka wawasan anak untuk memilih keputusan yang tepat tanpa disuruh, bisa menggunakan teknik bertanya (asking). Misalnya “Waah seru ya main sepak bola, tapi kalau main didalam rumah dan bolanya kena lemari kaca gimana ya? Supaya main bolanya lebih leluasa enaknya main dimana ya, kamu ada ide?”
Bertanya dan memberi pilihan kepada anak, manfaatnya juga untuk melatih anak agar terbiasa mengambil keputusan. Anak merasa dihargai, diberi kesempatan untuk memilih atau memunculkan ide dan tidak merasa disuruh-suruh. Kita orang dewasa saja tidak suka kan bila disuruh-suruh.
2. Teknik Routine Chart
Mengajak anak membuat jadwal jam biologis sepertinya baru bisa dilakukan pada anak remaja atau dewasa. Namun ada juga cara yang lebih menyenangkan untuk mengajari anak membuat rencana rutinitasnya sehari-hari. Tentunya bermanfaat bagi orangtua agar lebih mudah mengarahkan anak mandi, sholat, makan, tidur dll.
Banyak kreasi yang bisa dibuat, tentunya disesuaikan dengan perkembangan pemahaman anak. Ajarkan secar berkala tentang waktu : perbedaan pagi, siang, sore/malam, angka dalam jam dinding dan bila anak sudah dinilai bagus perkembangannya silahkan diajarkan nama-nama hari.
Buatlah yang menarik, libatkan anak agar ia sendiri merasa memiliki andil dan terdorong untuk mengerjakan kegiatan yang sudah ia susun. Biarlah ia seakan-akan disuruh oleh routine chart yang dibuatnya dan bukan disuruh oleh kita sebagai orangtuanya.
Untuk anak yang belum bisa angka atau nama-nama hari. Bisa dibuat perencanaan 1 atau 2 jam kedepan. Misalnya kegiatan akan tidur, “Setelah ini kita ngapain ya dek?, kamu mau gosok gigi dulu atau baca buku dulu?”. Kalau anak memilih membaca buku dulu maka diawal sudah dibuat kesepakatan. “oke kita baca buku dulu ya, setelah itu kita gosok gigi ya… oke?”.
Setiap anak bisa saja responnya berbeda dengan yang diatas, orangtua harus kreatif membuat pilihan pertanyaan dengan memahami perkembangan anak dan kebutuhan anak. Jangan langsung dikasih pilihan gosok gigi atau baca buku bila anak masih merasa lapar. Penuhi kebutuhannya terlebih dulu baru mengarahkan ke perencanaan kegiatan berikutnya.
Nah, untuk anak diatas usia 3 tahun, libatkan anak membuat routine chart seperti yang ada dalam video berikut ini. Orangtua juga bisa mengkreasi dengan memotret kemudian mencetak foto anak saat beraktivitas tertentu sehingga bisa digunakan sebagai bahan membuat routine chart-nya. Semoga anak jadi lebih tertarik membuat dan menjalankan rutinitasnya sehari-hari.
Video Mengajarkan Disiplin dengan Routine Chart :
Semoga bermanfaat, bila ada saran atau pertanyaan, silahkan chat di kolom komentar ya…